Sabtu, 07 Mei 2011

Seharusnya Reward dan Punishment ditegakan di RSSN

 Oleh: Yana Mulyana

RSSN adalah singkatan dari Rintisan Sekolah Standar nasional. RSSN ini adalah sekolah yang memiliki derajat satu tahap di atas Sekolah Potensial dan di bawah Sekolah Standar nasional. Menurut Tim Pengembang Kurikulum Jawa Barat secara garis besar terdapat dua kategori sekolah yaitu:
  1. Sekolah Standar
  2. Sekolah Kategori Mandiri

Sekolah standar memiliki dua element yaitu Sekolah Potensial SSN dan Rintisan Sekolah Standar Nasional (RSS). Sedangkan Sekolah Kategori Mandiri yaitu: Sekolah Standar Nasional, Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI).

RSSN memiliki satu tahap di atas Sekolah Potensial SSN oleh karena itu, sering menjadi buah bibir baik di kalangan masyarakat, pegawai/guru, ataupun di kalangan birokrat. RSSN tersebar rata-rata 1-2 sekolah di setiap kecamatan. RSSN ini memiliki kewajiban sebagai berikut:
  1. Telah memenuhi/melewati sekolah potensial SSN2. 
  2. Mendekati atau bahkan memenuhi 8 standar nasional
  3. Siap masuk sekolah kategori mandiri.
  4. Melaksanakan Standar Nasional Pendidikan
  5. Menonjolkan keunggulan lokal dan global.

Jika kita analisis kewajiban RSSN memang bukanlah hal yang mudah. Memerlukan pengorbanan, kejelian manajemen, dan kerjasama di berbagai kalangan apakah itu masyarakat, birokrat maupun guru dan pengelola sekolah tersebut.
 
Hal yang paling menonjol yang sangat menjadi bahan perbincangan adalah kualitas dari hasil RSSN. Hasil dari RSSN dalam bentuk nyata adalah kualitas siswa dan kualitas lulusan. Kualitas siswa ini dapat terukur dari berapa persen jumlah yang naik kelas ataupun bersaing dengan sekolah-sekolah lain. Sedangkan kualitas lulusan yaitu berapa jauh alumnus dari sekolah tersebut dapat bersaing di sekolah lanjutannya.
 
Tak akan ada asap jika tidak ada api. Demikian pulan dengan kualitas hasil RSSN. Seandainya tidak ada proses yang baik maka kualitas hasil pun tak akan datang bahkan mungkin hanyalah angan-angan semata. Proses untuk meningkatkan kualitas output dititikberatkan pada kualitas pembelajaran. Oleh karena itu, dibutuhkan konsepsi dalam pelaksanaan pembelajaran. Arah proses pembelajaran di RSSN haruslah berpijak pada tujuan RSSN bukan sekedar masuk kelas, kegiatan monolog dan bubar jalan.
 
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan No. 20 Tahun 2003 Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses tercantum bahwa pembelajaran perlu direncanakan, dilaksankan, dinilai dan diawasi agar terlaksana secara efektif dan efesien.
 
Sesuai dengan Permendiknas No. 41 Tahun  2007 maka guru diwajibkan membuat perencanaan dalam setiap pembelajaran. Perencanaan tersebut berupa RPP yang berpijak pada kurikulum, bersifat fleksibel, dan bervariasi untuk memenuhi standar.  Dalam perencanaan pembelajaran hendaklah guru dapat membuat pembelajaran yang interaktif, inspiratif, menarik, menantang dan memotivasi peserta didik. Dalam hal ini guru berarti harus mencari metode-metode yang tepat untuk digunakan dalam pelaksanaan proses pembelajarannya. Guru tidak boleh melaksanakan pembelajaran secara statis dari hari ke hari seandainya ingin mencetak kualitas hasil kerjanya yang baik.
 
Berbicara tentang pengetahuan guru pada metode dan strategi pembelajaran bukan sebuah masalah besar di RSSN. Hal ini disebabkan oleh terdapatnya pelatihan bagi guru-guru RSSN melalui kegiatan In House Training. Pelatihan ini merupakan paket yang tidak terpisahkan dari dekonsentrasi RSSN. Terlepas dari apakah biaya dari APBN atau APBD yang jelas para guru RSSN telah dilatih untuk melaksanakan pembelajaran sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan.
 
Namun, apakah artinya pelatihan seandainya tidak terdapat tindak lanjut yang terkontrol secara langsung. Guru adalah manusia bukan robot bukan juga malaikat yang memiliki sifat konstan. Guru memiliki sifat manusiawi, mereka suatu saat pasti akan mendapatkan kejenuhan dalam pekerjaanya. Oleh karena itu, pengawasan ini hendaknya menjadi sebuah sarana konsultasi akan kejenuhan-kejenuhan guru itu.
 
Guru-guru yang mengajar di RSSN itu mereka harus putar otak, peras keringat banting tulang untuk membuahkan kualitas pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan sekolah-sekolah yang ada di lingkungan RSSN itu. Meskipun role input yaitu siswa yang sangat heterogen dari berbagai basic keluarga, guru harus berusaha keras. Selain kewajiban guru mencetak siswa dan lulusan yang berkualitas guru di RSSN pula dituntut untuk selalu menambah kompetensinya seperti kompetensi linguistik, teknologi maupun yang lainnya.
 
Sepak terjang guru RSSN seandainya ia seorang idealis, maka sang guru tersebut tidak akan ada waktu untuk keluarganya. Meski dalam kenyataanya mereka dapat pulan pada pukul 12.05 atau paling telat 12.30. Namun, apakah mereka dapat bersantai duduk enak dan tidur nyenak di keluarganya? Banyak guru-guru yang idealis hampir tidak punya waktu untuk keluarganya disebabkan mereka harus bekerja untuk sekolah di rumahnya.
 
Pengawasan ini seharusnya sampai ke arah sana. Apakah mereka dapat menikmati harinya dengan keluarga? Bagaimana masalah mereka dengan keluarga? Bukan hanya tuntutan untuk meningkatkan kualitas atau pengadministrasian. Sangatlah lumrah jika seorang guru idealis di RSSN mengeluh.
 
Maslow mengungkapkan bahwa kebutuhan manusia sebagai berikut:
  1. Kebutuhan fisiologikal seperti: sandang pangan
  2. Keamanan baik itu bersifat mental, psikologikal maupun intelektual
  3. Kebutuhan kasih sayang dan penerimaan.
  4. Kebutuhan prestise atau harga diri
  5. Kebutuhan aktualisasi diri.
 Hal lain, Sarah Jessica menulis dalam bukunya “The Art Of Building Relation With People” ia menyatakan ada beberapa sifat manusia yaitu:
  1.  Manusia pada dasarnya adalah egois.
  2. Seseorang lebih suka atau tertarik terhadap mereka sendiri
  3. Seseorang pada umumnya ingin merasa menjadi penting di hadapan siapapun.
  4. Manusia memiliki sifat ingin di hargai.
Jika kita mengamati pendapat Maslow dan Sarah Jessica maka tidaklah salah seorang guru idealis di RSSN mengeluh.
 
Untuk mengatasi keluhan agar tidak menjadi boomerang bagi berlangsungnya proses pendidikan dan peningkatan mutu di RSSN diperlukan pengawasan yang baik. Ahmad Abdul Jawwad dalam bukunya “Manajemen Melawan Arus” menyatakan bahwa pengawasan yang lemah akan menimbulkan penyakit profesi yang mematikan yaitu kecemburuan profesi.
 
Seperti dikutip di atas guru RSSN bukanlah robot. Oleh karena itu, mereka akan berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Mungkin akan ada yang idealis mempertahankan prinsip-prinsipnya meski penghargaan bagi mereka kurang atau mungkin juga terdapat guru yang melawan arus peraturan atau bahkan mengabaikan cita-cita RSSN.
 
Seandainya terdapat heterogenesis di kalangan tim RSSN maka jangan mengharapkan RSSN masuk ke sekolah kategori mandiri atau berubah status menjadi SSN. Hal yang akan datan dalam sebuah heterogenesis prinsip akan membuahkan kecemburuan profesi yang berat dan melemahkan sendi-sendi peningkatan kualitas RSSN dan berakhir pada jurang kemunduran.
 
Pengawasan di RSSN haruslah menjadi homogenisasi prinsip untuk mensolidkan tim. Caranya sangat singkat tetapi perlu pengorbanan baik pengorbanan bersifat birokrasi, ekonomi ataupun perasaan.
 
Berikan reward bagi guru yang idealis dan bekerja sesuai dengan tujuan RSSN. Reward dapat berupa finansial, promosi atau pengakuan atas intelektualisasinya. Guru yang sudah berada pada rel tujuan RSSN hendaknya bukan dibebani oleh kritik-kritik dan saran-saran yang sepele yang mengakibatkan mundurnya etos kerja para guru. Biarkanlah mereka berkreasi dengan misinya. Guru idealis bukanlah bidak catur yang harus selalu turut atas keinginan atasannya yang tidak masuk akal bagi mereka. Mereka berhak menentukan pola dan strategi pekerjaan mereka.
 
Jika terdapat reward maka terdapat pula punishment. Punishment sangat diperlukan dalam sebuah tim. Sebab, seandainya tidak terdapat punishment maka guru yang melawan arus peraturan dan tidak sesuai dengan tujuan RSSN akan seenaknya bekerja tanpa arah dan kendali. Hal yang lebih parah adalah guru yang tidak disiplin dalam kerjanya. Tanpa punishment dia akan lebih parah. Jangan takut dan rasa iba memberikan punishment bagi guru yang malas dan tidak disiplin. Justru jika punishment tidak diterapkan maka atasan guru itulah yang akan terkena dampaknya. Meski sang guru itu dikeluarkan oleh yang berwenang, kenapa tidak? Masalah perdata biar dia selesaikan sendiri dengan hukum yang berlaku. Masalah penghidupan keluarganya biar mereka fikirkan sendiri dan kita harus yakin bahwa Tuhan akan senantiasa menyayangi makhluknya.
 
Hal ini memang terlihat sadis dan kejam. Namun, itulah cara jika ingin sebuah kualitas dan tujuan tercapai. Keindahan di sebuah taman tidak akan terwujud jika kita mempertahankan parasit  dan rumput-rumput yang tidak berguna pada taman itu. Daripada sebuah parasit mengganggu tanaman lain yang indah dan sehat lebih baik dihilangkan. Kemudian kita harus senantiasa memupuk dan memelihara tanaman yang baik, bukan?
 
Seandainya reward dan punishment diterapkan dengan baik maka penulis yakin kualitas pendidikan di RSSN akan menuju ke arah yang signifikan. Hal ini disebabkan hukum keadilan akan tegak dan kecemburuan profesi akan luntur di kalangan tim RSSN.
 
Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar